Minggu, 13 Mei 2012

SEPATU ONTONG PISANG

Sampai saat ini masih begitu kuingat, pengalaman di tahun 60an, saat-saat saya masih bersekolah di tingkat dasar, yang nama sekolahnya adalah Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) tepatnya di sebuah desa yang terpencil di pinggiran sungai bengawan Solo, desa yang diberi nama Gedangan. Kata Gedangan diambil dari kata dasar gedang, berasal dari bahasa jawa yang artinya adalah pisang. Kata gedang itu mendapat akhiran an maka terbentuklah kata Gedangan.
Desa Gedangan memang merupakan desa yang ditumbuhi banyak tanaman pisang. Di sepanjang pekarangan belakang rumah penduduk sepanjang alur Daerah Aliran Sungai (DAS) rata-rata merupakan  kebun pisang.  Konon nama desa ini diambil dari banyaknya tanaman  pisang yang mendominasi  desa.
Kehidupan di desa ini pada decade 60an memang masih sangat terbelakang. Desa yang belum terakses penerangan listrik, masyarakat masih menggunakan lampu teplok, sebagian masyarakat yang sedikit lebih modern menggunakan lampu strongking. Jalan-jalan masih berupa tanah liat yang apabila musim hujan keadaan jalannya menjadi becek dan lengket di kaki, lengket juga di sandal atau bakiyak yang kita pakai. Belum banyak orang di desa ini yang memakai sepatu kecuali orang-orang yang pulang dari kota.
Namun  dengan pedenya anak-anak desa pada era tersebut bersekolah dengan banyak yg tak bersepatu alias nyeker. Setiap kali kami melihat anak-anak yang sudah bersepatu karena telah dibelikan oleh ayahnya yang pulang dari bekerja di kota Surabaya kami merasa ingin sekali memilikinya namun apa daya orang tua kami hanya petani yang hidup di desa tak tahu dimana harus membeli sepatu.
Pada suatu saat muncullah ide kratif kami ketika melihat mahkota ontong(bunga) pisang yang berguguran jatuh  di tanah kemudian kami ambil lalu kami jadikan sepatu dan kami pakai untuk bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM). Mahkota Ontong bunga pisang itu kami bentuk seperti layaknya sepatu dan bagian atasnya diikat dengan tali yang berasal dari serat batang pisang (orang desa kami menyebut gedebok pisang.
Tentu saja sepatu seperti ini tidak bisa bertahan lama paling hanya bertahan beberapa hari saja, dengan pedenya kami pake sepatu buatan sendiri ini untuk ke sekolah. Ketika sepatu ini aus dalam beberapa hari kamipun segera membuat lagi. Tidaklah menjadi masalah jika kami secara terus menerus membuat sepatu ontong pisang ini karena desa kami memang banyak pohon pisang tentunya juga banyak ontong pisangnya.
Kini bila kami mengingat sepatu ontong pisang  antik yang kadang kami bentuk seperti sepatu aladin lalu kami pake untuk sekolah di sekolah dasar MIM desa kami dulu maka kami kadang tertawa sendiri saat mengingatnya. Beruntung saja ketika  tertawa sendiri tidak ada yang melihatnya. Coba bila ada yang melihatnya pasti dianggap orang setengah gila….he..he..he….tetapi akupun pernah bercerita kepada teman-teman sejawat saat ini bahwa dulu saat aku bersekolah di desa terpencil sementara teman2 banyak yang telanjang kaki alias nyeker dan sebagian bersepatu, aku  biasa pake sepatu dari mhkota ontong pisang yang kubikin sendiri….. Kawan-kawan ku sejawat pun berkomentar : katrok betul kamu ! Dasar wong ndeso ….he…he…he…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar