Rabu, 16 November 2011

KETIKA JEMARIKU TAK HENTI MENARI DI ATAS KERTAS

Ketika jemariku tak henti menari di atas kertas Berpuluh tahun yang lalu tepatnya setelah lulus SMA, aku telah mencoba menulis sebuah karya, awalnya aku benar-benar bersemangat ’45, setelah aku membaca kembali karyaku yang baru seperempat jadi itu, tiba-tiba saja ‘mood’ku untuk menulis menciut-yut, inspirasiku sirna-na, tak ayal lagi, jemariku menjadi kaku tak meneruskan tariannya di atas kertas putih. Bingung. “Mungkin besok ‘mood’ku kembali lagi” pikirku. Yah, ternyata seperti dugaanku, ‘mood’ku benar-benar kembali dan semangatku lebih membara dari hari kemarin. Jemariku terus saja menari bersama pensil yang ujungnya sudah tak berbentuk itu (maklum, jaman dulu). Setelah selesai setengah lebih aku penasaran dan membaca ulang karyaku. “lho, kok jadinya nggak nyambung gini...?” batinku. Aku sibuk menghapus bagian mana yang tidak terlalu penting. Begitu seterusnya. Sampai berbulan-bulan aku baru bisa menyelesaikan satu karyaku yang menurutku masih banyak kurangnya. Aku menyerah karena ketidaksabaranku, sampai aku pernah berfikir bahwa dunia tulis-menulis bukanlah bidangku. Hobi ini nyaris tenggelam 25 tahun, sampai akhirnya aku membuat akun FB untuk komunikasi keluarga di pulau sebrang. Aku juga meng-add banyak orang, agar aku banyak punya teman dan kenalan. Teringat hadits Rasulullah SAW tentang mencari seorang teman, ya, kita diwajibkan untuk mencari banyak teman yang ibaratnya seribu teman itu masih kurang, sedang satu musuh itu ibaratnya sudah lebih dari seribu. Pada suatu kesempatan seorang teman FB mengajakku agar ikut sebuah group di FB dengan nama IIDN ( ibu-ibu doyan nulis ). Di grup ini aku merasa menemukan duniaku yang sempat tenggelam di dasar laut yang paling dalam. Aku berjuang menghasilkan karya yang bagus, terkadang lelah menghampiri setelah seharian menjalankan kewajiban sebagai ibu rumah tangga, dan bekerja. Untuk sebuah permulaan memang tidak mudah, tapi aku tak ingin menyerah, semua ini tak lain karena dukungan suamiku tercinta, mujahidah-mujahidahku yang kusayang dan teman-teman grup yang kubanggakan, terimakasih semua. Walau masih sering salah di EYD atau susunan kalimat, tapi akhirnya sedikit demi sedikit aku bisa berkarya kembali. Aku masih sering berlatih menulis, karna aku sadar tulisanku masih jauh dari kesempurnaan, aku mencatat segala hal di buku kecilku yang menceritakan hal-hal yang sepele sampai yang begitu penting dalam hidupku. Akupun mencoba merangkai puisi untuk mengungkapkan perasaanku. Kini aku benar-benar ‘falling in love’ pada dunia tulis-menulis, sampai-sampai kemanapun aku pergi tak lupa kubawa buku dan pena, agar ketika aku mendapatkan sebuah inspirasi bisa langsung aku tuangkan. Memang tak mudah memulai menulis, terkadang binggung dari mana memulai sebuah cerita, tapi setelah terbiasa aku sedikit merasa mudah memulai cerita. Aku juga sering belajar dari sahabat-sahabat grupku, kucoba menganalisa tulisan indah mereka. Dari situ pulalah aku banyak belajar kesalahan. Tentunya masih banyak sekali yang harus aku lakukan untuk dapat menulis seperti yang aku harapkan. Kini sudah banyak karyaku yang selesai, dan hanya beberapa yang sudah aku postingkan dan aku ikutsertakan dalam lomba-lomba menulis. Walaupun tidak lolos atau tidak menang, aku tetap merasa bangga karena semua adalah hasil karyaku dan dengan perjuanganku. Harapanku adalah semoga aku masih diberi kesempatan menulis dan bisa menghasilkan tulisan yang enak dibaca dan dapat diambil manfaatnya oleh siapapun yang membacanya. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah.... Samarinda, 6 november 2011 Mahabbah el-ahmead (Titik Suswati)

ELERGI PERPISAHAN

ELEGI PERPISAHAN Bapakku adalah orang terpandang di kampung, beliau adalah orang yang tegas dan disiplin, karena kedua sifat itulah bapak jadi terlihat keras. namun di balik sifatnya itu tersimpan kelembutan dan kebaikan yang tulus. Beliau selalu menolong tentangga kami yang kesusahan. Setiap hari beliau membantu kami membersihkan rumah, karena beliau paling tidak suka melihat rumah kotor. Beliau selalu menegur kami bahkan memarahi kami jika kami salah. Tapi beliau terus memotivasi kami untuk terus belajar. Dan buahnya memang sangat manis sekarang. @ @ @ Suatu malam terdengar suara telepon berdering, bergegas suamiku beranjak untuk mengangkat. Tak lama suamiku kembali ke kamar dengan wajah sedikit pucat. Dengan sedikit senyuman dia duduk di sampingku. Aku menatapnya penuh tanda tanya. “ sabar ya sayang....” ucapnya sebelum kulontarkan pertanyaan. Dahiku sedikit berkerut. Ada apa gerangan suamiku berkata seperti itu. “ ada apa Bi...? siapa yang menelepon...? tanyaku. “ bapak sakit....” jawabnya. Dua kata itu benar-benar membuat aku kaget. Bapak sakit? Sakit apa gerangan? Baru beberapa jam yang lalu anakku menghubungi bapak, sebelumnya aku melihat di layar hpku 4 panggilan tidak terjawab dari nomer bapak, karena aku sedang mengikuti kajian, jadi getar hpku tak kuhiraukan. Lantas ketika aku pulang, anakku yang pertama dapat tlp dari Bapak... “ Ummimu nggak pulang kah nduk?” tanya Bapak. “ nggak mbah...” jawab anakku seraya meneteskan sedikit air mata karena rindu. “ bilangin ummi nduk, mbah kangen banget....” itulah perkataan terakhir bapak sebelum telepon terputus. @ @ @ Jum’at pagi Bapak masih sehat wal afiat, seperti biasa beliau duduk di bangku teras rumah, menghirup udara pagi yang segar. Kebetulan adik bungsuku berangkat mengajar. Rumahnya hanya bersebelahan dengan rumah bapak. Cuma kakak pertamaku dan dia yang tinggal dekat dengan beliau. Karena saudara yang lain tinggal jauh dari bapak. Dengan senyum bapak menyapa adikku, disuruhnya untuk mampir sebentar, karena ada hal penting yang mau dibicarakan. “ gimana kabarmu nak...?” tanya bapak. Seperti itulah bapak, walau bagaimanapun beliau selalu memperhatikan kami dan selalu menanyakan keadaan kami. “ Alhamdulillah baik pak.” Jawab adikku seraya duduk di samping bapak. “ cepet nikah nak, mumpung bapak masih ada. Siapa to laki-laki yang kamu suka, biar nanti bapak yang minta ke orang tuanya.” Ya, adat kami memang seperti itu. bahwa yang perempuanlah yang meminta laki-laki, setelah di perbolehkan, barulah laki-laki melamar perempuan dan langsung menentukan tanggal nikah jika keduanya memang saling cocok. “ belum ada yang Nur cintai pak, Nur masih belum bisa melupakan Bang Rayyan.” Jawab adikku terisak. Dia adalah adik bungsuku, baru 6 tahun pernikahannya, suaminya lebih dulu dipanggil Allah. Kini dia sendiri yang mengasuh kedua anaknya. Tiba-tiba saja Bapak memeluk Nur sembari meneteskan air mata. Ketika sore bapak menghampiri rumah Nur karena mendengar tangisan Haidar, anak kedua Nur. Tangisannya tidak seperti biasanya. Tangisnya begitu keras, sampai-sampai Nur yang biasanya bisa mendiamkan tangisnya menyerah untuk kali ini. semua barang-barang dibuangnya ke lantai hingga berantakan, bapak mendekatinya seraya mengelus kepala Haidar. “ kenapa cung (panggilan untuk cucu)...?” tanya beliau, tangisnya sedikit mereda dan langsung memeluk kakeknya. Setelah tangis Haidar benar-benar reda, Nur segera memeluknya, tak biasanya Haidar bertingkah seperti ini, pikirnya dalam hati. Bapak pulang beberapa menit setelah melihat Haidar bermain, bapak langsung menuju kamar mandi. Tak seperti biasa bapak keramas sore, biasanya pagi. Setelah mandi Bapak memilih memakai baju baru dan dilanjutkan memotong kuku, padahal sebelum shalat jum’at beliau sudah memotong kukunya. Yang lebih membuat bunda curiga adalah cincin yang tak pernah dilepas bapak kini dilepasnya dan diletakkan di dalam tempat sabun. biasanya setelah mandi sore Bapak menonton tv, meliahat berita dunia, tapi waktu itu, beliau asik melantunkan ayat suci al-qur’an. “ Nis, kepalaku kok sedikit pusing ya....” kata bapak kepada Bunda “ ya sudah pak, istirahat dulu, mumpung belum maghrib, ntar kalau masih pusing ya biar Ali saja yang menggantikan bapak menjadi imam....” kata Bunda, ya, pekerjaan sehari-hari bapak setelah pensiun adalah mengurus musholla di samping rumah. dulu musholla itu kecil, tapi berkat sokongan warga sekitar musholla itu sudah direnovasi. Dan bisa menjadi musholah untuk anak-anak pesantren dan murid-murid nggaji. Bapak tidak mengindahkan ucapan Bunda, beliau masih meneruskan membaca Al-qur’an yang tadi sempat terpotong. Melihatnya Bunda hanya geleng-geleng kepala seraya beranjak untuk mandi. Tak berapa lama lantunan ayat suci itu sedikit merendah volumenya, pusing Bapak semakin menjadi-jadi, hingga Bapak benar-benar berhenti membaca Al-qur’an. Tangan Bapak meraih hp yang tdk jauh dari jangkauan tangan beliau dan menelepon Nur, tapi Nur tidak mendengar suara Bapak. Nur sedikit curiga, lantas segera menuju rumah Bapak. Sesampainya di kamar Bapak, Nur melihat bapak terkulai lemah di atas kasur dengan bibir yang masih melafalkan kalimatullah. Bunda baru selesai mandi ketika dengan tiba-tiba mendengar jeritan Nur. “ MasyaAllah Bapaaaaaaak...!!!” jerit Nur. Bunda lansung memeluk bapak. “ nyebut pak, nyebut....” kata bunda sambil terisak “ Allahu Robbuna, Allahu Robbuna, Allahu Robbuna....” lirih suara bapak menyebut asma-Nya. @ @ @ Semua keluargaku berdatangan oleh teriakan adikku, kebetulan tetangga-tetangga bapak adalah keluarga bapak sendiri. Sehingga dengan cepat mereka menuju rumah Bapak. Tak lama mobil pak lek tiba di rumah, dan siap membawa Bapak beserta keluarga ke RS Muhammadiyah Lamongan di kota. Yang paling menguji adalah saat mobil masih menyusuri jalan desa yang masih dalam masa perbaikan. Ditambah terkuncinya pagar pembatas desa. Sedangkan yang membawa kunci adalah sang kepala Desa. Kakak iparku dengan sigap berlari ke rumah Kades, dan mengetuk pintu berulangkali, tetapi tetap tak ada sahutan dari dalam rumah. “astaghfirullah....” ujar kakak iparku dan berlari kembali menuju mobil. “Pak kades nya nggak waras tuh...!” celetuk salah satu dari warga yang ikut mengantar. Tak mau menunggu lama, kakak iparku tancap gas. Dengan melaju kakak mencari jalan pintas menuju kota. Tapi saat melewati jalan tembusan, mobil yang ditumpangi bergoyang-goyang dan hampir terjungkal ke jurang, disebabkan jalan yang tidak rata karena batu dan bekas terhampas banjir bandang. Sampai-sampai gigi kakak sepupuku copot karena terhantup kursi mobil. Alhamdulillah akhirnya sampai juga di RS. Bapak langsung di bawa ke ruang ICU, dan di pasang infus serta saluran kencing. Bapak di vonis dokter mengalami pendarahan otak, sehingga bapak koma selama 4 hari. Bunda tiba-tiba lemas dan ikut dirawat. Aku bersama suami langsung mencari tiket setelah mendengar kabar. Adikku yang tinggal di Mataram pun segera datang. Adikku yang lain begitu juga. Subhanallah, tak henti-hentinya orang menjenguk Bapak. Kami begitu khawatir akan keadaan Bapak. Sehingga kami terus membacakan beliau ayat-ayat al-qur’an. Hari Rabu pagi dokter menyatakan Bapak sehat. Jika besok lusa masih sehat, Bapak boleh dibawa pulang. Akan tetapi Allah berkendak lain. Pada sore harinya kami kembali dipanggil dokter untuk, tiba-tiba dokter menyatakan kondisi bapak memburuk tiba-tiba. Dan menyuruh kami mengikhlaskan beliau. Kami semakin giat mendo’akan dan lantunan ayat suci tak perna berhenti disamping Bapak. Sampai ada dokter yang marah. karena kami mengaji di RS, alasan dokter mengganggu orang-orang yang sakit. Adikku sempat berdebat dengan dokter tersebut, Dan kenyataannya kami masih terus mengaji. Tak takut dengan marahnya dokter. Waktu itu bunda terserang penyakit komplikasi juga, mungkin karena terbawa pikiran dan kaget akan kondisi bapak. Dan mama mendapatkan perawatan dirumah sakit. Sekitar jam 9 malam, Bunda sehat kembali dan ikut mendampingi Bapak. Kami masih terus mengaji hingga pukul 2 dini hari. Semua saudara-saudaraku begilir sholat lail sambil mendoakan Bapak. Setelah kita semua selesai lail, tiba-tiba bapak menggerakkan mulut. Aku langsung mengajak Bapak sholat, walau Bapak tak bisa bergerak tapi aku seperti merasakan Bapak sholat. Setelah selesai sholat kami mulai ikhlas, kalau memang takdir Allah memanggil Bapak waktu itu. Kulihat keringat sebesar jagung keluar dari dahi bapak, membentuk tetesan air yang indah. Kami segera menuntun Bapak mengucap syahadat dan Beliau mengikutinya. Tak berapa lama Bapak sudah tidak bergerak lagi, ya, Beliau sudah benar-benar meninggalkan kami. Esoknya jenazah Bapak sudah dibawa pulang, para pelayat semakin banyak. Bunda masih terus menangis. Bagaimana tidak, Bapak sudah berpuluh-puluh tahun menemani hidup Beliau. Kami juga masih terus menangis terlebih-lebih Nur, adik bungsuku. Allah, betapapun Beliau adalah orang yang benar-benar menyayangi kami, dan kami pun menyayangi Beliau, maka limpahkanlah kasih sayang-Mu padanya. Ketika jenazah Bapak dimandikan, bau harum di sepanjang halaman dan rumah...kita semuanya pada mencari bau harum yang menyerkat itu, ya....semuanya tak bisa kita cari letak asal-usul keharuman itu. Kini tingal kenangan, semua pelajaran yang diberikan Bapak untukku, akan aku lakukan semampu saya. Walaupun jauh disana Engkau tetap menyapaku dalam mimpi, kenangan bersamamu takkan perna terhapus karena sesuatu. Dalam perpisahan terasalah hampa, aku sangat mengharap dalam doaku, agar kelak bisa berkumpul bersamamu di sorgaNya.aamiin. Kini bunda sendiri, sejak sepeninggalnya Bapak, bunda sakit-sakitan...merasakan kehilangan orang yang sangat dicintai dan segala-galanya untuknya. Gerimis pun mengiringi arakan jenazah Bapak. Teruntuk Alm. Bapak yang dicintai Allah SWT Mahabbah el-ahmead (Titik suswati)